Kehilangan, kematian, ketidakadilan, dan kesengsaraan adalah sebagian dari pengalaman hidup yang akan dijalani setiap makhluk; terlepas dari manusia. Kita sebagai manusia telah mengalami berbagai macam bentuk penderitaan, dari rasa sakit ketika jatuh sampai dengan rasa sakit yang tidak berbekas dan kasat mata. Tentu saja kita ingin menghindar dari pengalaman tersebut, dan bagi mereka yang memiliki rasa simpati yang tinggi, untuk orang lain. Hening dan hangat kasih sayang merupakan pengalaman paling awal yang pernah kita rasakan untuk pertama kalinya; dalam kandungan. Maka dari itu, semua pengalaman yang berlawanan akan menimbulkan goncangan secara signifikan terhadap batin dan jiwa kita.
Tetapi, untuk beberapa orang, mereka enggan untuk terpuruk dan mati batin hanya karena penderitaan. Karenanya timbulah perubahan, atau lebih detailnya, penyesuaian dengan lingkungannya. Acap kali kita melihat perlakuan yang berlawanan ini di berita-berita yang beredar di sosial media, tentang begal, tentang maling, tentang koruptor, dan genosida. Apakah mereka melakukan hal tersebut karena mereka takut? Saya rasa tidak tepat untuk memberi label “takut” terhadap perlakukan semacam itu, ini semua kembali lagi terhadap pengalaman yang kita dapatkan dalam kandungan. Keheningan tanpa cinta adalah kehilangan, cinta tanpa keheningan adalah penderitaan. Saya rasa kehilangan dan penderitaan memiliki dampak signifikan terhadap psikologi manusia. Hal tersebut menjadi hambatan bagi mereka yang hidup di negara yang berasas “cinta” terhadap tanah air dan sesama. Di manakah cinta yang dikatan oleh negara dan masyarakat yang menjunjung tinggi ideologinya? Apakah cara kita “bercinta” tidak lagi seperti dulu? Apakah sekarang kita mengganti rasa “cinta” tersebut dengan perlakukan orang sekitar kita? Intinya, rasa takut bukanlah hal yang tepat untuk merujuk ke perlakukan seperti itu, semuanya kembali pada cinta. Kalian bisa menelaah argumen ini dari sisi psikoanalisis dengan membaca buku Sigmund Freud yang berjudul “Civilization and Its Discontents” atau, “Peradaban dan Kekecewaan Manusia”.
Seperti yang diketahui, perubahan itu keras, kita perlu kerasnya perubahan apabila kita menderita, sakit rasanya untuk mengikhlaskan, tetapi lebih baik berubah untuk tumbuh daripada terpuruk. Tumbuh, tumbuh dan tumbuh, itulah yang kita alami seiring roda waktu masih berputar; sebaiknya seperti itu. Lakukan hal yang kita suka, sebab itu adalah pupuk yang ampuh saat berproses, lalu lakukanlah kebaikan terhadap orang lain, sebab itu adalah benih cinta, hasil dari proses yang sehat.
Janganlah engkau takut akan penderitaan, perubahan dan pertumbuhan, sebab derita dan perubahan lambat laun akan berlalu, sedangkan pertumbuhan akan selalu ada.
Give your thoughts
Don't need to login to post comments